Featured

Covid-19 dan Masker sebagai Identitas Baru (Updated!)

Covid-19 benar-benar telah menginspirasi banyak orang untuk menjadi lebih kreatif dalam memanfaatkan “celah bisnis” bahkan di tengah keterpurukan. Itulah mengapa penulis yakin bahwa Covid-19 tidak hanya datang sebagai “bencana” tapi juga “berkah.” Dan masker adalah “contoh kecil” yang justeru membawa “rejeki besar”, selain berbagai produk terkait seperti hand sanitizer, alat untuk mencuci tangan dengan beragam bentuknya.

Dalam bahasa Inggeris kata “masker” memiliki makna “a person who wears a mask (seseorang yang menggunakan topeng)”. Sementara “topeng” dalam bahasa Inggeris adalah “mask (Merriam-webster.com, 2020). Jadi “masker” adalah “orangnya dan bukan barang atau benda”. Namun demikian makna sebagaimana dimaksudkan dalam penggunaan sehari-hari sebagaimana dipahami banyak orang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/daring (dalam jaringan): “masker adalah (1) alat untuk menutup muka; topeng; (2) kain penutup mulut dan hidung (seperti yang dipakai oleh dokter, perawat di rumah sakit); topeng: — yang menutup mulutnya bertali ke telinga.” (Ebta Setiawan, 2012)

Masker, sebagaimana yang dimaksudkan dalam penggunaannya saat ini (mau tahu masker terbaik dan terburuk versi Duke University? Tonton di sini atau baca di sini), memiliki sejarah yang panjang. Bermula ketika terjadi wabah Pes Bubo di Marseille, Prancis pada tahun 1720, saat ini para penggali kubur menggunakan masker yang berupa kain yang dililitkan di wajah mereka, meskipun tindakan mereka itu “bukan untuk mencegah penularan” (Ach. Hidayat Alsair, 2020). Sementara itu bentuk masker pun bermacam-macam dan yang paling populer adalah masker bedah (surgical mask) dan masker N95.

Mewabahnya Covid-19 telah menjadikan masker bedah “primadona” dan harganya pun “meroket.” Bahkan pada bulan Maret 2020 harganya menembus angka 15 juta per karton isi 40 boks (Yasinta Rahmawati, 2020). Bahkan kalau dihitung per lembar harganya mencapai 15 ribuan. Padahal sebelum Covid-19 harga masker bedah ini hanya sekitar 1.000 hingga 2.000 rupiah saja per lembarnya. Hal ini terjadi karena “panic buying” dari sementara kalangan yang “khawatir terjangkit Covid-19.” Meskipun sebetulnya masker bedah lebih efektif jika digunakan oleh orang yang sudah terpapar dan bukan orang yang sehat. Belum lagi bermunculannya masker “stylish” yang didisain agar pemakainya terlihat lebih “fashionable” yang dipakai oleh kalangan tertentu yang harganya pun “tidak lumrah” seperti yang digunakan oleh istri Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, Diah Erwiany Trisnamurti Hendrati Hendropriyono yang sempat viral karena harganya mencapai 20 jutaan! (detikcom, 2020). Meskipun banyak juga masker stylish yang dijual dengan harga bersahabat. (Baca juga jenis masker yang direkomendasikan WHO untuk melawan Covid-19).

Covid-19 dan Dahsyatnya Sujud …

Semakin hari, Covid-19 semakin banyak memakan korban. Sayangnya sampai hari ini, masih belum ada titik terang bagaimana wabah dapat dimusnahkan secara tuntas. Meskipun sudah ada beberapa negara yang mengumumkan bahwa mereka telah menemukan vaksin untuk Covid-19 ini namun masih belum jelas kapan vaksin tersebut dapat diproduksi secara massal. Beberapa ahli memperkirakan bahwa vaksin Covid-19 baru akan siap sekitar tahun 2021. Semoga saja perkiraan ini akan segera menjadi kenyataan. Masalahnya hingga saat ini, berdasarkan data resmi WHO per 14 September 2020, sekitar 28,9 orang di seluruh dunia telah terpapar virus Covid-19. Bahkan dilaporkan bahwa hanya dalam seminggu (7 September 2020 s.d. 13 September 2020) terdapat 1.8 juta kasus baru!

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan data resmi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sampai dengan tanggal 14 September 2020, terdapat 221.523 orang terkonfirmasi positif Covid-19, di mana DKI Jakarta berada pada urutan pertama dengan 55.099 kasus (24.9%), dan provinsi dengan kasus positif Covid-19 terendah adalah Jambi (321 (0.1%)), Kepulauan Bangka Belitung (283 (0.1%)), Sulawesi Tengah (271 (0.1%)) dan Nusa Tenggara Timur (237 (0.1%)).

Gambar 1. Peta Sebaran Kasus Covid-19 di Indonesia (Sumber: Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2020)

Membaca deretan data di atas, pastinya kita semakin khawatir bahwa hingga beberapa tahun ke depan, sepertinya kita terpaksa harus “duduk bersandingan dengan Covid-19.” Tapi, saya yakin, Allah itu Maha Adil dan Dia tidak akan membiarkan makhluknya hidup dalam kegelisahan terus-menerus. Kabar gembira datang dari seorang dokter yang bernama Dr. Rufai, seorang dokter tim ICU sebuah rumah sakit di Panama, Florida, Amerika Serikat. Dokter yang bertugas di bagian ICU penanganan Covid-19 membagikan pengalamannya mengenai “Proning Position (Posisi Tengkurap)” yang menurutnya telah membantu pasien-pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit tempatnya bekerja menjadi lebih baik. Berita tentang teknik yang diperkenalkan oleh Dr. Rufai ini viral melalui grup-grup WA, yang sayangnya, menurut channel Youtube Dian Cahyadi, yang menglupload video ini pada 10 September 2020, tidak diketahui sumbernya.

Dr. Rufai, Proning Position for helping Covid-19 Patients

Covid-19 dan Resepsi Pernikahan di Masa Pandemik

Menikah tidak hanya perwujudan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon), juga sebagai upaya untuk melegalkan hubungan antara dua insan berlainan jenis dan implementasi sunnah Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan seorang muslim, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Menikah itu adalah sunnahku. Maka barangsiapa yang tidak mau / enggan melaksanakan sunnahku maka dia bukanlah dari golonganku.” (Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846) dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2383)).

Secara umum, prosesi selanjutnya setelah akad nikah dilaksanakan adalah resepsi pernikahan (walimatu al-‘ursy) yang merupakan manifestasi sunnah Nabi Muhammad SAW sebagaimana sabdanya:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing…” (HR. Imam Al-Bukhari (no. 5167) dalam kitab an-Nikaah, Imam Muslim (no. 1427) dalam kitab an-Nikaah)

Maka resepsi pernikahan dengan segala pernak-perniknya adalah sesuatu yang sudah ‘lumrah’ baik di kalangan masyarakat muslim maupun non-muslim. Hadirnya ratusan bahkan ribuan tamu yang memberikan doa restu kepada kedua mempelai menjadi suatu hal yang biasa. Demikian juga ‘dandanan mewah bak raja dan ratu’ bagi pasangan pengantin menjadi suatu tuntutan. Namun di tengah pandemik Covid-19 saat ini, dimana berbagai negara menerapkan aturan physical distancing yang melarang orang berkumpul lebih dari lima orang termasuk Indonesia, sehingga resepsi pernikahan pun sempat dilarang sehingga banyak pasangan memilih untuk ‘menunda’ pernikahan mereka atau kalaupun memilih untuk melanjutkan maka resepsi pernikahan tersebut harus menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Covid-19 benar-benar telah ‘menghadirkan nuansa yang berbeda dalam sebuah resepsi pernikahan’. Bahkan ada konsep baru resepsi pernikahan di tengah pandemik yaitu ‘konsep drive thru’ yang terjadi di Bekasi sebagaimana diberitakan oleh IDN Times Jabar. Konsep drive thru ini layaknya ketika kita memesan makanan di restoran siap saji seperti McDonald atau KFC. Meskipun penulis yakin konsep ini hanya bersifat temporer paling tidak selama Covid-19 masih mewabah.

Keharusan untuk menerapkan protokol kesehatan (mengenakan masker [mau tahu masker terbaik dan terburuk versi Duke University? Tonton videonya di sini atau baca di sini], rajin mencuci tangan dan menjaga jarak, lengkapnya baca di sini) pada saat resepsi pernikahan tersebut penulis alami ketika menghadiri akad nikah dan resepsi pernikahan di Kel. Duren Jaya, Bekasi Timur, Kota Bekasi pada Ahad, 9 Agustus 2020, yang kebetulan adalah keponakan penulis yang bernama Riyanita Bestari. Penyelenggaraan resepsi tersebut dilakukan setelah mendapatkan “ijin penyelenggaraan keramaian” yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yaitu Kelurahan Duren Jaya, dengan catatan agar menerapkan protokol kesehatan. Menurut Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, bahwa Kota Bekasi sudah masuk ‘zona hijau’, meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa Kota Bekasi masih dalam ‘zona kuning dengan level 3, artinya, Kota Bekasi masih dalam level cukup berat.

Berdasarkan hal tersebut maka shohibul hajat harus menyiapkan mulai dari tempat cuci tangan, hand sanitizer, dan masker khususnya untuk semua yang terlibat dalam penyelenggaraan resepsi tersebut. Pemandangan serba “bermasker” pun terlihat ketika calon mempelai pria, Muhammad Riki Saputra, dan rombongannya datang pada sekitar pukul 8.30 pagi yang disambut oleh tuan rumah yang juga bermasker. Maka “dandanan yang elok” dan “senyum sumringah” sang pengantin pun jadi “terhalang” karena ditutup oleh masker. Namun demikian, alhamdulillah, acara demi acara berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, meskipun terlihat beberapa yang hadir karena ‘agak kurang bebas bernapas’ sesekali melepas masker atau sekedar mengeluarkan hidung mereka agar bisa menghirup udara segar (sebetulnya berapa lamakah memakai masker yang aman?). Bahkan beberapa di antaranya tidak mengenakan masker atau sekedar menyangkutkannya di leher-leher mereka. Bahkan pada beberapa prosesi / pose terlihat “unmasked …”. Ya, unmasked. Ini memang seperti “pembelotan” terhadap kebijakan tapi fakta seperti ini banyak terlihat di jalan-jalan atau tempat-tempat umum. Bisa jadi karena “sebagian” masyarakat lama-lama merasa “jenuh” karena Covid-19 ini dibilang “tidak ada” faktanya “ada” dan sebaliknya. Dan tak seorang ahli pun tahu kapan ini akan berakhir (kapan Corona berakhir, baca pendapat para ahli di sini dan di sini).

Prosesi pernikahan dilaksanakan di musholla Miftahul Jannah di bawah asuhan Ustadz Endang Kosasih. Acara dimulai dengan “serah terima pengantin” dari perwakilan mempelai pria, yang diwakili oleh Bpk. Supriyo, dan perwakilan mempelai wanita yang diwakili oleh penulis selaku keluarga dari sang mempelai wanita. Selanjutnya dilanjutkan dengan akad nikah yang berlangsung dengan khidmat dan lancar terutama ketika sang mempelai pria menyambut kata-kata wali nikah, Bpk. Turyanto, dengan ucapan “saya terima nikahnya …” dan kedua saksi serta semua yang hadir serentak berteriak “sah!”. Maka keduanya pun telah sah menjadi pasangan suami isteri. It’s that simple!

Selesai akad nikah, sang penghulu berpesan kepada “pasangan pengantin baru”, meskipun pesan tersebut juga perlu diketahui juga oleh “pasangan pengantin lama”, yaitu tiga perkara agar dapat membina keluarga “samawa (sakinah, mawaddah wa rahmah)” yaitu: (1) jaga shalat lima waktu; (2) jujur kepada pasangan; dan (3) tidak mengumbar masalah kepada orang lain, tapi berusaha mengatasi berdua. Nasehat perkawinan ini penting (baca di sini, juga di sini) agar dapat menjadi pegangan bagi kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga sehingga “langgeng” sampai (orang Jawa bilang) “kaken kaken ninen ninen (kakek nenek)”.

Ya, menikah memang termasuk salah satu dari lima perkara yang harus disegerakan karena jika tidak maka akan timbul fitnah diantaranya kemungkinan terjadinya “pergaulan bebas” yang diharamkan agama. Maka mewabahnya Covid-19 bukan halangan untuk “segera menikah” meskipun dalam keadaan yang serba “dibatasi!

Covid-19 (telah) Menjadikan Seorang Muslim Imam yang Sempurna

Di masa ini, ketika seorang Bapak hendak memilihkan jodoh untuk puterinya maka pertanyaan yang biasanya mengemuka adalah “apakah kamu sudah bekerja?”, dan lebih jauh ditanyakan juga jabatan dan, barangkali ini yang paling penting, “jumlah gaji!!” Agak materialis memang tapi itulah faktanya. Ini tentu berbeda dengan masa lalu dimana orang tua lebih menekankan kepada aspek agama (dalam hal ini agama Islam), maka para orang tua masa lalu biasanya bertanya, “sudah khatam Qur’an berapa kali?”, lalu yang terkait dengan shalat dan lainnya sementara aspek harta tidak terlalu dikedepankan karena keyakinan bahwa masalah “rezeki” itu Allah yang atur. Dan ini, boleh dibilang, sudah jadi “barang langka.” Maka di era Covid-19 saat ini, kriteria pemilihan jodoh yang cenderung materialistis seperti itu sepertinya “kena batunya.” Mengapa?

Covid-19 yang awalnya “bersemai” di Wuhan, China dan kemudian berubah menjadi pandemik yang melanglang ke seantero buana termasuk negeri tercinta Indonesia. Ketika wabah ini mulai memakan korban yang dari hari ke hari terus bertambah (lihat data perkembangan Covid-19 di dunia dan di Indonesia) maka pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia mulai menerapkan physical and social distancing yaitu menjaga jarak fisik dan mengurangi intensitas pertemuan dalam jumlah besar karena ditengarai potensial sebagai mata rantai penularan Covid-19. Maka pemerintah provinsi DKI Jakarta pun menjadi “pioner” dalam penerapan kebijakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” atau “PSBB” melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan peraturan ini kemudian diikuti oleh daerah-daerah penyangga DKI Jakarta seperti Bogor, Depok Bekasi dan Tangerang. Maka dilakukanlah penutupan sementara kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta, tempat-tempat keramaian (tidak termasuk pasar) seperti kebun binatang, tempat hiburan, restoran dan lainnya termasuk “masjid” sehingga shalat Jum’at pun harus diganti shalat Dhuhur di rumah masing-masing! Maka jargon “work from home, learning from home“ termasuk juga “beribadah di rumah!” pun menjadi populer.

Kemudian sebagai tindaklanjut dan juga pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah di tengah pandemik Covid-19, maka Majelis Ulama Indonesia sebagai pemegang otoritas hukum agama Islam pun mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang secara implisit menyatakan bahwa “untuk menghindari kerumunan terutama di daerah di mana wabah tidak terkendali maka umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan “ibadah di rumah.”

Di sinilah pola pikir materialis mendapatkan tantangan dan sekaligus kena batunya, meskipun pendapat penulis ini terkesan subyektif karena bisa jadi pembaca mungkin punya pendapat lain. Ketentuan pelaksanaan “ibadah di rumah” baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at mengharuskan setiap laki-laki muslim harus siap menjadi “imam” bagi keluarga mereka. Bagi mereka yang memang “melek agama” apalagi lulusan sekolah agama atau bahkan pesantren, hal ini tentu tidak masalah. Namun bagi sebagian mereka yang muslim tapi “tidak melek agama” atau bahkan sehari-harinya cenderung “tidak peduli terhadap kewajiban agama” ini merupakan masalah besar. Sebagian mereka, jangankan memimpin shalat keluarganya, bahkan membaca surat “al-Fatihah” pun tidak bisa, apatah pula surat-surat lainnya (ini data angka melek Al-Qur’an di Indonesia). Dan ini tentu sesuatu yang, sejujurnya, memalukan (atau membuat malu) mereka di hadapan isteri terutama anak-anak mereka. Bisa jadi si anak ketika makmun di belakang ayahnya berkata, “pasti setelah al-Fatihah ayah baca ‘qulhu (surat al-Ikhlash) lagi …” Rasanya mau ditaruh di mana muka ini ….”. Apalagi kebijakan ini pun masih berlaku ketika bulan Ramadhan 1441 / 2020 hingga datangnya hari raya Idul Fithri, maka “lengkaplah penderitaan” tersebut karena memimpin shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang banyak (8 + 3 atau 20 + 3) tentu lebih menyiksa lagi.

Covid-19 dan Kegamangan Insan Pendidik

Pertanyaan yang mengemuka saat ini adalah, “Covid-19 berkah atau musibah?” Sebagian besar orang pastilah akan menjawab “musibah”. Dan ini wajar karena dengan mewabahnya Covid-19, banyak orang kehilangan pekerjaan, pedagang yang kehilangan tempat mangkal (seperti pedagang jajanan di sekolah yang terpaksa jualan keliling lantaran sekolah tempatnya mangkal ditutup sementara) termasuk juga hilangnya “keceriaan” dari wajah anak-anak yang terpaksa “tidak bisa sekolah dan bermain dengan teman-temannya” karena sekolah “dilarang” untuk beroperasi seperti biasa demi keselamatan “anak didik” mereka.

Covid-19 yang kini tengah mewabah dan entah kapan akan selesai, juga berimbas ke dunia pendidikan. Keharusan menggunakan metode daring (dalam jaringan) apapun namanya (Whatsapp, Google Meeting, Zoom Cloud Meeting, …) sebagai pengganti “metode tatap muka (direct learning)” telah membuat sebagian insan pendidik (guru) khususnya guru sekolah dasar, kalau tidak dikatakan semua, “gamang” dan “kelimpungan.” Pasalnya tidak semua guru memiliki pemahaman dan kemampuan penguasaan teknologi yang mumpuni. Tambahan pula tidak semuanya memiliki fasilitas (seperti laptop, komputer desktop, smartphone yang “lumayan canggih”) untuk menopang proses belajar secara daring tersebut. Belum lagi masalah tambahan biaya untuk membeli paket data agar proses pembelajaran daring tersebut bisa berlangsung. Meskipun sebetulnya hal ini bukan merupakan “kewajiban pribadi“ para guru tapi “kewajiban setiap satuan pendidikan baik formal dan nonformal” untuk menyiapkan sarana dan prasarana penunjang guna menjamin kelancaran proses belajar mengajar di sekolah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) Pasal 45 ayat (1). Pastinya, pasal ini tidak hanya berlaku bagi institusi pendidikan yang dikelola pemerintah namun juga non pemerintah meskipun perbedaan “kemampuan finansial” sering menjadi kendala tersendiri.

Sebetulnya, pendidikan jarak jauh yang sekarang ini sedang “naik daun” dengan mewabahnya Covid-19 bukanlah sesuatu yang asing. Paling tidak hal ini telah disinggung, meskipun bukan secara khusus untuk menghadapi situasi darurat seperti sekarang ini dengan tengah mewabahnya Covid-19, di dalam UU Sisdiknas Pasal 31, di mana didalamnya tersirat secara jelas bahwa: “(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jika saja pasal-pasal ini mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah maupun insan pendidik dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, maka implementasinya dalam keadaan saat ini bukanlah suatu yang sulit.

Menurut pengamatan penulis, bagi guru yang mengajar di pusat-pusat peradaban (kota besar) perubahan metode pengajaran dari “metode tatap muka” ke “metode online” bukanlah masalah besar karena secara umum di perkotaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan mudah dapat dipenuhi. Hal ini berbeda dengan yang dihadapi oleh rekan-rekan mereka di daerah terutama daerah terpencil yang jauh dari “sentuhan teknologi”. Namun demikian, permasalahan sebenarnya bukanlah pada “tersedia atau tidaknya sarana prasarana”, tapi “kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia / guru” dalam penguasaan teknologi informasi (komputer dan perangkat pendukung lainnya). Dan ini menjadi “PR” besar pemerintah karena hingga saat ini masih banyak insan pendidik yang “gaptek” dan “minder” jika bersentuhan dengan “teknologi informasi” dan cenderung lebih menguasai metode pengajaran tradisional.

Permasalahan yang penulis sebutkan ini hanya dari sisi insan pendidik atau guru saja. Belum lagi jika dikaitkan dengan “kemampuan dan kesiapan murid dan orang tua murid” sebagai obyek dan partner guru dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Berdasarkan informasi dari sumber dekat penulis, permasalahan pembelajaran “daring” tidak hanya menjadi monopoli para insan pendidik tapi juga orang tua dan anak-anak mereka. Sebagian orang tua yang anaknya baru masuk sekolah mengeluhkan pemberlakuan metode pengajaran online ini meskipun mereka menyadari bahwa hal tersebut dipilih karena “kondisi darurat.” Para orang tua tersebut bercerita bahwa anak-anak mereka yang sedang semangat ingin sekolah tersebut “uring-uringan” dan berkata “sekolah kok di rumah sih!”. Hal ini wajar mengemuka karena selama ini di benak setiap anak usia balita bahwa sekolah adalah “bangun pagi dan memakai seragam sekolah, berangkat ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman baru, bermain dan berlari-larian, jajan, bercerita dan tertawa ceria”. Dan hal itu tidak mereka dapatkan melalui metode belajar “daring” tersebut. Masalah lain adalah “tidak setiap keluarga punya laptop, PC atau pun smartphone” termasuk tidak setiap orang tua menguasai pengoperasiannya untuk membantu putera dan puteri mereka. Para orang tua juga bercerita bahwa pada awalnya anak-anak tersebut “senang dan tertarik” dengan “metode belajar jarak jauh” yang ditawarkan sekolah tapi lama-kelamaan mereka merasa jenuh, bosan dan akhirnya “ngambek dan mogok belajar.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “metode belajar tatap muka” masih lebih efektif dan disukai khususnya anak-anak usia sekolah dasar ketimbang “metode online / jarak jauh” meskipun telah dikemas secara apik dan menarik. “metode online / jarak jauh” lebih cocok diterapkan untuk para mahasiswa yang sudah lebih dewasa dan mampu “mengelola waktu dan kebutuhan belajar (study and time management)” yang dapat “tetap belajar” tanpa perlu diawasi. Hal ini berbeda dengan siswa SMP dan SMA / SMK apalagi siswa SD yang masih perlu banyak bimbingan, pembekalan dan motivasi untuk lebih kuat dan mandiri. Dan yang paling penting bagi anak-anak usia sekolah dasar adalah “kehadiran di sekolah, belajar dan tatap muka dengan guru yang dapat menjadi role model, indahnya belajar dan bermain bersama dengan teman-teman” ternyata “tidak dapat tergantikan” bahkan dengan teknologi secanggih apapun!

Maka penulis yakin bahwa yang ada di benak para insan pendidik termasuk juga orang tua dan putera-puteri mereka adalah “harapan agar Covid-19 segera berlalu” dan situasi dan kondisi kembali normal (dan bukan hanya sekedar “new normal”) sehingga “keceriaan yang hilang akan segera kembali”. Aamiin.


Artikel ini juga bisa dibaca di Kawani.tv.

Bantuan Sosial Covid-19 dan Nuansa Idul Adha

Sekali lagi penulis yakin bahwa Covid-19 tidak hanya datang sebagai “bencana” tapi juga membawa “berkah”. Mengapa demikian? Dengan adanya Covid-19 banyak pihak berinisiatif, atau sekedar ikut-ikutan, untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang secara langsung terdampak Covid-19. Ya, berbagai kebijakan penanganan Covid-19 mulai dari social and physical distancing atau “jaga jarak fisik” serta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang telah berimbas terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari pedagang kaki lima yang terpaksa tidak bisa berjualan, penjual jajanan di sekolah yang terpaksa harus “istirahat” karena sekolahnya “ditutup sementara” hingga pegawai swasta yang (juga) terpaksa “dirumahkan” karena perusahaan mengalami defisit keuangan lantaran tidak adanya income. Maka jadilah jumlah “orang miskin” bertambah dengan adanya “orang-orang miskin baru” atau yang terpaksa “dimiskinkan” oleh keadaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah orang miskin per Maret 2020 meningkat sekitar 1,63 juta orang dari semula 25,1 juta menjadi 26,4 atau naik 9,78% (Djumena, 2020). Dalam kondisi seperti ini, maka berbagai bantuan sosial yang diinisiasi baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta memiliki makna yang signifikan dan sangat membantu meringankan beban masyarakat yang semakin berat.

Nah, demikian pula yang hari ini, Jum’at, 31 Juli 2020 tengah dinikmati oleh warga RT 04/06, Kelurahan Bedahan, Sawangan, Depok. Di tengah syahdunya alunan takbir hari Raya Idul Adha 1441 / 2020, warga RT 04 dibanjiri oleh bantuan sosial yang berasal dari Bantuan Lembaga Kepresidenan / Bantuan Presiden yang merupakan upaya pemerintah untuk membantu masyarakat yang “dimiskinkan” akibat penanganan pandemik Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Pembagian bantuan tersebut bertempat di musholla Darussalam, RT 004/006, Kelurahan Bedahan, Sawangan Depok. Uniknya pembagian bantuan sosial / bansos tersebut juga dibarengi dengan pembagian daging kurban dari hewan-hewan kurban yang dipercayakan oleh para pekurban kepada Panitia Kurban di musholla Darussalam. Artinya warga RT 004/06 tidak hanya menerima beras dan sembako tapi juga “daging kurban” sehingga mereka tidak hanya bisa makan dengan nasi panas dan semangkuk mie, tapi juga ditambah dengan gulai kambing yang pastinya akan menambah selera makan.

Menurut Ahmad Rojali, Ketua RT 004/006, Kelurahan Bedahan, wilayahnya sudah mendapatkan 7 kali bantuan sosial / bansos mulai dari pemerintah pusat / Bantuan Presiden, Kementerian Sosial dan pihak lainnya. Jenis bantuan yang diberikan ada yang beras saja dan beras beserta sembako. Mekanisme distribusi bantuan-bantuan tersebut sebelum didistribusikan kepada warga terdampak, dipusatkan di kelurahan lalu dikirimkan / dikumpulkan kepada Satgas Covid-19 di tingkat RW, kemudian diserahkan kepada ketua-ketua RT untuk selanjutnya didistribusikan kepada warga di masing-masing RT.

Ahmad Rojali juga menegaskan bahwa hingga saat ini distribusi bantuan tersebut berjalan lancar dan tanpa kendala hingga diterima oleh warganya. Bantuan yang diterima oleh warganya kali ini berupa satu karung beras seberat 10 kg, sembako yang dikemas dalam kantong berwarna merah putih yang terdiri dari mie instan, kecap, sarden dan 2 kg minyak goreng. Bantuan tersebut dibagikan secara merata kepada seluruh warganya yang berjumlah 160 KK. Artinya tidak dibedakan antara warga mampu dan tidak mampu, karena memang di masa pandemik ini banyak orang yang “dimiskinkan” misalnya karena kehilangan pekerjaan akibat mewabahnya Covid-19.

Menjawab pertanyaan penulis, Ketua RT 04/06 itu mengatakan bahwa sebenarnya jatah bantuan per RT hanya untuk 91 Kepala Keluarga. Artinya jika di satu RT terdiri dari lebih dari 91 KK, akan ada warga yang tidak kebagian. Maka untuk menyiasati hal tersebut, pengurus RT membagi satu paket menjadi dua. Misalnya beras 10 Kg dibagi menjadi dua bagian masing-masing 5 Kg, demikian juga paket sembako. Dengan demikian dipastikan tidak ada warga yang tidak kebagian jatah bantuan. Dan sejauh ini, tidak ada keluhan dari warga perihal tersebut.

Kemudian ketika penulis tanyakan mengenai ada atau tidaknya keluhan terkait “kualitas bantuan” yang diterima oleh warganya, ketua RT yang masih muda dan energik itu menjelaskan bahwa memang dari 7 kali bantuan yang telah diterima oleh warganya, kualitas beras bantuan yang diterima tidak selalu sama. Kadang bagus, kadang jelek. Bahkan ada yang berasnya sudah bau atau kotor / kusam. Untuk mengklarifikasi hal tersebut penulis juga mewawancarai beberapa warga penerima bantuan. Sebagian besar mereka mengatakan bahwa kualitas beras bantuan yang diterima secara umum bagus, dalam arti tidak ada yang rusak, kotor atau berbau. Meskipun ada seorang warga yang telah tiga kali menerima bantuan mengatakan bahwa pernah beras yang diterimanya kurang bagus kualitasnya. Ketika dimasak tidak sampai sehari nasinya sudah basi. 

Meskipun semua setuju dan berharap agar Covid-19 segera berlalu, namun ketika ditanya “apakah pemberian bantuan sosial tersebut terus berlanjut”, baik Ahmad Rojali maupun warganya berharap agar pemberian bantuan bisa terus berlanjut mengingat dampak Covid-19 belum bisa diprediksikan kapan akan berakhir. Selain itu, Ahmad Rojali juga berharap bantuan yang diberikan tidak hanya bahan pokok, tapi juga dalam bentuk lain seperti bantuan pendidikan / sekolah karena saat ini permasalahan yang dihadapi “tidak hanya masalah perut” tapi juga mencakup masalah kelangsungan sekolah anak-anak dari keluarga yang terdampak Covid-19. Kita berharap, semoga hal ini juga menjadi “perhatian” pemerintah meskipun tentu saja harus ada “tolok ukur” yang jelas agar bantuan yang diberikan tepat sasaran.


Artikel ini juga dapat dibaca di Kawani.tv.