Bantuan Sosial Covid-19 dan Nuansa Idul Adha

Sekali lagi penulis yakin bahwa Covid-19 tidak hanya datang sebagai “bencana” tapi juga membawa “berkah”. Mengapa demikian? Dengan adanya Covid-19 banyak pihak berinisiatif, atau sekedar ikut-ikutan, untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang secara langsung terdampak Covid-19. Ya, berbagai kebijakan penanganan Covid-19 mulai dari social and physical distancing atau “jaga jarak fisik” serta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang telah berimbas terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari pedagang kaki lima yang terpaksa tidak bisa berjualan, penjual jajanan di sekolah yang terpaksa harus “istirahat” karena sekolahnya “ditutup sementara” hingga pegawai swasta yang (juga) terpaksa “dirumahkan” karena perusahaan mengalami defisit keuangan lantaran tidak adanya income. Maka jadilah jumlah “orang miskin” bertambah dengan adanya “orang-orang miskin baru” atau yang terpaksa “dimiskinkan” oleh keadaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah orang miskin per Maret 2020 meningkat sekitar 1,63 juta orang dari semula 25,1 juta menjadi 26,4 atau naik 9,78% (Djumena, 2020). Dalam kondisi seperti ini, maka berbagai bantuan sosial yang diinisiasi baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta memiliki makna yang signifikan dan sangat membantu meringankan beban masyarakat yang semakin berat.

Nah, demikian pula yang hari ini, Jum’at, 31 Juli 2020 tengah dinikmati oleh warga RT 04/06, Kelurahan Bedahan, Sawangan, Depok. Di tengah syahdunya alunan takbir hari Raya Idul Adha 1441 / 2020, warga RT 04 dibanjiri oleh bantuan sosial yang berasal dari Bantuan Lembaga Kepresidenan / Bantuan Presiden yang merupakan upaya pemerintah untuk membantu masyarakat yang “dimiskinkan” akibat penanganan pandemik Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Pembagian bantuan tersebut bertempat di musholla Darussalam, RT 004/006, Kelurahan Bedahan, Sawangan Depok. Uniknya pembagian bantuan sosial / bansos tersebut juga dibarengi dengan pembagian daging kurban dari hewan-hewan kurban yang dipercayakan oleh para pekurban kepada Panitia Kurban di musholla Darussalam. Artinya warga RT 004/06 tidak hanya menerima beras dan sembako tapi juga “daging kurban” sehingga mereka tidak hanya bisa makan dengan nasi panas dan semangkuk mie, tapi juga ditambah dengan gulai kambing yang pastinya akan menambah selera makan.

Menurut Ahmad Rojali, Ketua RT 004/006, Kelurahan Bedahan, wilayahnya sudah mendapatkan 7 kali bantuan sosial / bansos mulai dari pemerintah pusat / Bantuan Presiden, Kementerian Sosial dan pihak lainnya. Jenis bantuan yang diberikan ada yang beras saja dan beras beserta sembako. Mekanisme distribusi bantuan-bantuan tersebut sebelum didistribusikan kepada warga terdampak, dipusatkan di kelurahan lalu dikirimkan / dikumpulkan kepada Satgas Covid-19 di tingkat RW, kemudian diserahkan kepada ketua-ketua RT untuk selanjutnya didistribusikan kepada warga di masing-masing RT.

Ahmad Rojali juga menegaskan bahwa hingga saat ini distribusi bantuan tersebut berjalan lancar dan tanpa kendala hingga diterima oleh warganya. Bantuan yang diterima oleh warganya kali ini berupa satu karung beras seberat 10 kg, sembako yang dikemas dalam kantong berwarna merah putih yang terdiri dari mie instan, kecap, sarden dan 2 kg minyak goreng. Bantuan tersebut dibagikan secara merata kepada seluruh warganya yang berjumlah 160 KK. Artinya tidak dibedakan antara warga mampu dan tidak mampu, karena memang di masa pandemik ini banyak orang yang “dimiskinkan” misalnya karena kehilangan pekerjaan akibat mewabahnya Covid-19.

Menjawab pertanyaan penulis, Ketua RT 04/06 itu mengatakan bahwa sebenarnya jatah bantuan per RT hanya untuk 91 Kepala Keluarga. Artinya jika di satu RT terdiri dari lebih dari 91 KK, akan ada warga yang tidak kebagian. Maka untuk menyiasati hal tersebut, pengurus RT membagi satu paket menjadi dua. Misalnya beras 10 Kg dibagi menjadi dua bagian masing-masing 5 Kg, demikian juga paket sembako. Dengan demikian dipastikan tidak ada warga yang tidak kebagian jatah bantuan. Dan sejauh ini, tidak ada keluhan dari warga perihal tersebut.

Kemudian ketika penulis tanyakan mengenai ada atau tidaknya keluhan terkait “kualitas bantuan” yang diterima oleh warganya, ketua RT yang masih muda dan energik itu menjelaskan bahwa memang dari 7 kali bantuan yang telah diterima oleh warganya, kualitas beras bantuan yang diterima tidak selalu sama. Kadang bagus, kadang jelek. Bahkan ada yang berasnya sudah bau atau kotor / kusam. Untuk mengklarifikasi hal tersebut penulis juga mewawancarai beberapa warga penerima bantuan. Sebagian besar mereka mengatakan bahwa kualitas beras bantuan yang diterima secara umum bagus, dalam arti tidak ada yang rusak, kotor atau berbau. Meskipun ada seorang warga yang telah tiga kali menerima bantuan mengatakan bahwa pernah beras yang diterimanya kurang bagus kualitasnya. Ketika dimasak tidak sampai sehari nasinya sudah basi. 

Meskipun semua setuju dan berharap agar Covid-19 segera berlalu, namun ketika ditanya “apakah pemberian bantuan sosial tersebut terus berlanjut”, baik Ahmad Rojali maupun warganya berharap agar pemberian bantuan bisa terus berlanjut mengingat dampak Covid-19 belum bisa diprediksikan kapan akan berakhir. Selain itu, Ahmad Rojali juga berharap bantuan yang diberikan tidak hanya bahan pokok, tapi juga dalam bentuk lain seperti bantuan pendidikan / sekolah karena saat ini permasalahan yang dihadapi “tidak hanya masalah perut” tapi juga mencakup masalah kelangsungan sekolah anak-anak dari keluarga yang terdampak Covid-19. Kita berharap, semoga hal ini juga menjadi “perhatian” pemerintah meskipun tentu saja harus ada “tolok ukur” yang jelas agar bantuan yang diberikan tepat sasaran.


Artikel ini juga dapat dibaca di Kawani.tv.

The Inspiring Kitab Kuning, “Nyok Nyimak” Pelajaran yang Kemarin

Sekali lagi: mewabahnya Covid-19 di seluruh dunia termasuk negeri tercinta Indonesia, telah menghentikan banyak aktivitas termasuk Pengajian Kitab Kuning di pondok pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok. Pengajian yang biasa digelar setiap Sabtu pagi mulai pukul 06.00 s.d. 07.00 juga “terpaksa diistirahatkan” karena “manut” terhadap kebijakan pemerintah kota Depok yang menerapkan “Pembatasan Sosial Berskala Besar / PSBB” mulai tanggal 15 Maret 2020 mengikuti kebijakan pemerintah daerah DKI Jakarta. Kitab yang dikaji sehari sebelum diberlakukannya PSBB (14 Maret 2020) adalah kitab “Fathush Shomad al’alimi”.

Alhamdulillah, setelah tiga bulan diberlakukannya PSBB (yang mengalami ± 3 kali perpanjangan) “angin segar” bertiup lembut sejalan dengan wacana pemberlakukan “new normalatau pemerintah daerah provinsi Jawa Barat menyebutnya “Adaptasi Kebiasaan Baru / AKB”. Pengasuh pengajian Kyai Syamsul Yakin mengumumkan bahwa kajian akan dimulai kembali pada Sabtu, 13 Juni 2020. Meskipun tanggal tersebut masih bersifat tentatif (disesuaikan dengan kebijakan yang, mungkin, berubah) tapi telah “membangkitkan kembali semangat terpendam jama’ah”. Apalagi pada Jum’at, 5 Juni 2020, pemerintah kota Depok telah “mengijinkan” masjid-masjid untuk menggelar shalat Jum’at meski tetap harus menerapkan “protokol kesehatan”.

Maka untuk menyegarkan ingatan penulis pribadi dan, mungkin saja, para jama’ah pengajian yang memang sudah sangat rindu untuk kembali “duduk khusyu’” mendengarkan tausiyah dari Kyai Syamsul, berikut kilas balik “rekaman” empat kitab yang dikaji secara berturut-turut sesuai jadwalnya (lanjut ke halaman berikut ya … )

Halal bi Halal Ikaluni Heulang, Mimpi itu Akhirnya Terwujud

A. Pengantar

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Bogor (SMKN I Bogor) yang dulu (ketika kami masih sebagai siswa) dikenal dengan nama Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Bogor (SMEA Negeri Bogor) terlihat semakin cantik. Sejujurnya penulis sempat merasa iri dan (juga) ‘bangga’ dengan perkembangan almamater kami tersebut. Sekolah yang terletak di Kelurahan Tanah Sareal, Jl. Heulang No. 6, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor ini didirikan pada tahun 1962 / 1963 dengan nama SMEA PERSIAPAN (semula berlokasi di Jl. Polisi 2 Bogor), dan kemudian resmi menjadi SMEA Negeri Bogor pada 1 Agustus 1963 berdasarkan SK No. 194/B.3/Kejd.

Pejabat Kepala Sekolah yang pertama adalah Drs. Rukman Suryana. Berdasarkan informasi dari situs resmi SMKN 1 Bogor, hingga saat ini sudah ada delapan orang yang menjadi pejabat kepala sekolah yaitu:

Adapun Ikaluni Heulang, sesuai Anggaran Dasar, secara resmi berdiri pada 21 April 2018 dengan visi untuk “Terwujudnya IKALUNI HEULANG sebagai wadah untuk menghimpun dan merangkul setiap lulusan sehingga terciptanya rasa kekeluargaan dan kebersamaan khususnya sesama alumni maupun Keluarga Besar Sekolah serta berperan dalam mendukung program sekolah”. Pada Jumat, 28 September 2018, dilakukan pemasangan dan peresmian papan nama IKALUNI HEULANG, oleh Pelaksana Tugas (plt.) Kepala SMK Negeri 1 Bogor Drs. Uus Sukmara, MM.Pd., dan didampingi oleh Drs. Chairil Anwar, MM.Pd selaku Pendiri IKALUNI HEULANG, dan Ketua IKALUNI Bpk. Muhammad Asep Saepudin dan pengurus IKALUNI lainnya (SMKN 1 Bogor, 2018).

Halal bi Halal Heulang 90, Wadah untuk Membangun Kebersamaan

Pagi itu, Ahad, 8 Juli 2018 / 24 Syawwal 1439, cuaca sangat cerah. Setelah mengantarkan ibu mertua dan anak perempuan semata wayang, aku (dan isteri) dengan mengendarai “gerobak Jepang” melaju menuju Jl. Ahmad Yani, Tanah Sareal, Bogor, tempat “Halal bi Halal Alumni Heulang 90” diselenggarakan yaitu di Frank’s Resto & Café.

Alhamdulillah, kami sampai sekitar pukul 10 pagi dan café yang berdekatan dengan kantor Imigrasi Kota Bogor itu tampak masih sepi. Hanya tampak panitia (Mbak Nani, Mbak Ati, Kang Dorip, Kang Ajat(?) yang kabarnya telah menjadi seorang kakek, dan beberapa yang lain yang, maaf, aku tidak ingat semua meskipun panitia telah memberikan label yang di tempel di dada namun karena keterbatasan “daya pandang” tidak jelas terlihat) dan seorang sahabat baikku, teman satu kelas di KTU 1, Yuliana Dorce Tateni. Tak lama kemudian Tati Hartati, Hotimah, Rosdiana, Helia datang menyusul.

Acara halal bi halal yang digagas oleh para pengurus teras di Ikatan Alumni (Ikaluni) Heulang 90 yang (menurut informasi Mbak Nani Tofani) telah dibentuk tahun 2010 itu berjalan lancar dan (aku yakin) meriah meskipun aku (dan isteri) tidak menghadirinya sampai selesai. Dan, tentu saja, tidak kebagian door prize istimewa yang telah disediakan panitia.

Susunan Panitia HBH Heulang 90
Susunan Panitia Halal bi Halal Heulang 90 di Frank’s Resto & Cafe, 8 Juli 2018

Arena Gembira 2017 PonPes Modern Ar-Ridho – Sentul: Ajang Kreativitas yang Spektakuler!

Pesantren itu …

Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai “asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya“. Menurut kamus ini “pesantren” bisa juga disebut “Pesantrian” atau “tempat di mana para santri belajar / menuntut ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama Islam.” Secara umum pesantren dapat didefinisikan sebagai “lembaga pendidikan Islam yang didalamnya siswa atau yang biasa disebut Santri belajar dan tinggal bersama di sebuah asrama untuk tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama Islam tetapi juga sekalian mempraktekkannya di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia yang menurut sejarah pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada tahun 1742. Selanjutnya, lembaga pendidikan diresmikan pada tahun 1800-an. Sebuah sumber sejarah tradisional, yaitu Serat Centhini menyebutkan bahwa cikal bakal pesantren terdapat di Karang, Provinsi Banten. Pesantern Karang ini berdiri sekitar tahun 1520-an (Kang Bolkiyah, 2013)[1]. Menurut sumber lain pesantren pertama kali didirikan oleh Walisongo yang merupakan para juru dakwah yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam di Indonesia (Ashaqi, 2016)[2]

Secara umum, lembaga pendidikan yang bernama pesantren ini dapat dibagi menjadi 3 yaitu Pondok Modern, Pesantren Salaf dan Ponpes Salafi (perbedaan pesantren modern, salaf dan salafi klik di sini). Terlepas dari perbedaan pengertian ketiga kategori pondok tersebut, bermunculannya pondok yang mengusung label “modern” (dimulai dari Pondok Modern Gontor Ponorogo) membuat cara pandang para orang tua berubah dari “antipati” menjadi “simpati” dan bahkan animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan pesantren meningkat. Ya, pada masa lalu memang  kebanyakan orang tua yang enggan untuk memasukkan anak-anak mereka ke pesantren karena pesantren identik dengan “kekumuhan” dan jauh dari kesan modern. Dan yang paling penting sebagian orang tua mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka jika belajar di pesantren sehingga lebih suka memasukkan anak-anak mereka ke sekolah umum.

Idul Adha dan Kegembiraan Itu …

Idul Adha merupakan salah satu dari 2 hari raya bagi umat Islam sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dari Anas bin Malik r.a. yaitu:

hadits tentang 2 hari raya umat Islam

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr).” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Idul Adha disebut juga dengan Idul Qurban, atau di jaman penulis masih kecil dulu disebut juga dengan nama “Lebaran Haji”, yang lucunya, karena disebut Lebaran Haji maka sebagian anak-anak pada saat itu tidak ikut puasa baik hari Tarwiyah maupun Arafah karena kami beranggapan bahwa itu adalah “Lebarannya Pak Haji“. Dan biasanya “Lebaran Haji” ini juga tidak semeriah “Idul Fitri” atau kami menyebutnya dengan “Lebaran.” Satu-satunya yang membuat kami gembira adalah karena pada hari itu bakal banyak hewan disembelih (kambing dan sapi) dan itu artinya kami bakal “makan daging! (sesuatu yang jarang kami nikmati kecuali hanya pada saat hari raya Idul Fitri dan hari raya Qurban atau jika ada peringatan maulid atau kendurian di rumah orang kaya!).

Berbicara tentang Idul Adha tak terlepas dari Nabi Ibrahim a.s yang mendapatkan ujian dari Allah untuk “menyembelih” putera kesayangan yang sudah lama ditunggu-tunggu yaitu Ismail a.s. Cerita tentang “pengorbanan Nabi Ibrahim dan Keikhlasan Ismail” untuk melaksanakan perintah Allah SWT ini diabadikan di dalam surat Ash-Shaaffaat [37] ayat 99-111 berikut:

QS. Ash-Shaaffaat [37] ayat 99-111

Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. 100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. 101. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. 103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). 104. Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, 105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. 108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, 109. (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. 110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 111. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.