Covid-19 dan Kegamangan Insan Pendidik

Pertanyaan yang mengemuka saat ini adalah, “Covid-19 berkah atau musibah?” Sebagian besar orang pastilah akan menjawab “musibah”. Dan ini wajar karena dengan mewabahnya Covid-19, banyak orang kehilangan pekerjaan, pedagang yang kehilangan tempat mangkal (seperti pedagang jajanan di sekolah yang terpaksa jualan keliling lantaran sekolah tempatnya mangkal ditutup sementara) termasuk juga hilangnya “keceriaan” dari wajah anak-anak yang terpaksa “tidak bisa sekolah dan bermain dengan teman-temannya” karena sekolah “dilarang” untuk beroperasi seperti biasa demi keselamatan “anak didik” mereka.

Covid-19 yang kini tengah mewabah dan entah kapan akan selesai, juga berimbas ke dunia pendidikan. Keharusan menggunakan metode daring (dalam jaringan) apapun namanya (Whatsapp, Google Meeting, Zoom Cloud Meeting, …) sebagai pengganti “metode tatap muka (direct learning)” telah membuat sebagian insan pendidik (guru) khususnya guru sekolah dasar, kalau tidak dikatakan semua, “gamang” dan “kelimpungan.” Pasalnya tidak semua guru memiliki pemahaman dan kemampuan penguasaan teknologi yang mumpuni. Tambahan pula tidak semuanya memiliki fasilitas (seperti laptop, komputer desktop, smartphone yang “lumayan canggih”) untuk menopang proses belajar secara daring tersebut. Belum lagi masalah tambahan biaya untuk membeli paket data agar proses pembelajaran daring tersebut bisa berlangsung. Meskipun sebetulnya hal ini bukan merupakan “kewajiban pribadi“ para guru tapi “kewajiban setiap satuan pendidikan baik formal dan nonformal” untuk menyiapkan sarana dan prasarana penunjang guna menjamin kelancaran proses belajar mengajar di sekolah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) Pasal 45 ayat (1). Pastinya, pasal ini tidak hanya berlaku bagi institusi pendidikan yang dikelola pemerintah namun juga non pemerintah meskipun perbedaan “kemampuan finansial” sering menjadi kendala tersendiri.

Sebetulnya, pendidikan jarak jauh yang sekarang ini sedang “naik daun” dengan mewabahnya Covid-19 bukanlah sesuatu yang asing. Paling tidak hal ini telah disinggung, meskipun bukan secara khusus untuk menghadapi situasi darurat seperti sekarang ini dengan tengah mewabahnya Covid-19, di dalam UU Sisdiknas Pasal 31, di mana didalamnya tersirat secara jelas bahwa: “(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.” Jika saja pasal-pasal ini mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah maupun insan pendidik dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, maka implementasinya dalam keadaan saat ini bukanlah suatu yang sulit.

Menurut pengamatan penulis, bagi guru yang mengajar di pusat-pusat peradaban (kota besar) perubahan metode pengajaran dari “metode tatap muka” ke “metode online” bukanlah masalah besar karena secara umum di perkotaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan mudah dapat dipenuhi. Hal ini berbeda dengan yang dihadapi oleh rekan-rekan mereka di daerah terutama daerah terpencil yang jauh dari “sentuhan teknologi”. Namun demikian, permasalahan sebenarnya bukanlah pada “tersedia atau tidaknya sarana prasarana”, tapi “kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia / guru” dalam penguasaan teknologi informasi (komputer dan perangkat pendukung lainnya). Dan ini menjadi “PR” besar pemerintah karena hingga saat ini masih banyak insan pendidik yang “gaptek” dan “minder” jika bersentuhan dengan “teknologi informasi” dan cenderung lebih menguasai metode pengajaran tradisional.

Permasalahan yang penulis sebutkan ini hanya dari sisi insan pendidik atau guru saja. Belum lagi jika dikaitkan dengan “kemampuan dan kesiapan murid dan orang tua murid” sebagai obyek dan partner guru dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Berdasarkan informasi dari sumber dekat penulis, permasalahan pembelajaran “daring” tidak hanya menjadi monopoli para insan pendidik tapi juga orang tua dan anak-anak mereka. Sebagian orang tua yang anaknya baru masuk sekolah mengeluhkan pemberlakuan metode pengajaran online ini meskipun mereka menyadari bahwa hal tersebut dipilih karena “kondisi darurat.” Para orang tua tersebut bercerita bahwa anak-anak mereka yang sedang semangat ingin sekolah tersebut “uring-uringan” dan berkata “sekolah kok di rumah sih!”. Hal ini wajar mengemuka karena selama ini di benak setiap anak usia balita bahwa sekolah adalah “bangun pagi dan memakai seragam sekolah, berangkat ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman baru, bermain dan berlari-larian, jajan, bercerita dan tertawa ceria”. Dan hal itu tidak mereka dapatkan melalui metode belajar “daring” tersebut. Masalah lain adalah “tidak setiap keluarga punya laptop, PC atau pun smartphone” termasuk tidak setiap orang tua menguasai pengoperasiannya untuk membantu putera dan puteri mereka. Para orang tua juga bercerita bahwa pada awalnya anak-anak tersebut “senang dan tertarik” dengan “metode belajar jarak jauh” yang ditawarkan sekolah tapi lama-kelamaan mereka merasa jenuh, bosan dan akhirnya “ngambek dan mogok belajar.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “metode belajar tatap muka” masih lebih efektif dan disukai khususnya anak-anak usia sekolah dasar ketimbang “metode online / jarak jauh” meskipun telah dikemas secara apik dan menarik. “metode online / jarak jauh” lebih cocok diterapkan untuk para mahasiswa yang sudah lebih dewasa dan mampu “mengelola waktu dan kebutuhan belajar (study and time management)” yang dapat “tetap belajar” tanpa perlu diawasi. Hal ini berbeda dengan siswa SMP dan SMA / SMK apalagi siswa SD yang masih perlu banyak bimbingan, pembekalan dan motivasi untuk lebih kuat dan mandiri. Dan yang paling penting bagi anak-anak usia sekolah dasar adalah “kehadiran di sekolah, belajar dan tatap muka dengan guru yang dapat menjadi role model, indahnya belajar dan bermain bersama dengan teman-teman” ternyata “tidak dapat tergantikan” bahkan dengan teknologi secanggih apapun!

Maka penulis yakin bahwa yang ada di benak para insan pendidik termasuk juga orang tua dan putera-puteri mereka adalah “harapan agar Covid-19 segera berlalu” dan situasi dan kondisi kembali normal (dan bukan hanya sekedar “new normal”) sehingga “keceriaan yang hilang akan segera kembali”. Aamiin.


Artikel ini juga bisa dibaca di Kawani.tv.