Covid-19 dan Resepsi Pernikahan di Masa Pandemik

Menikah tidak hanya perwujudan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon), juga sebagai upaya untuk melegalkan hubungan antara dua insan berlainan jenis dan implementasi sunnah Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan seorang muslim, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Menikah itu adalah sunnahku. Maka barangsiapa yang tidak mau / enggan melaksanakan sunnahku maka dia bukanlah dari golonganku.” (Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846) dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2383)).

Secara umum, prosesi selanjutnya setelah akad nikah dilaksanakan adalah resepsi pernikahan (walimatu al-‘ursy) yang merupakan manifestasi sunnah Nabi Muhammad SAW sebagaimana sabdanya:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing…” (HR. Imam Al-Bukhari (no. 5167) dalam kitab an-Nikaah, Imam Muslim (no. 1427) dalam kitab an-Nikaah)

Maka resepsi pernikahan dengan segala pernak-perniknya adalah sesuatu yang sudah ‘lumrah’ baik di kalangan masyarakat muslim maupun non-muslim. Hadirnya ratusan bahkan ribuan tamu yang memberikan doa restu kepada kedua mempelai menjadi suatu hal yang biasa. Demikian juga ‘dandanan mewah bak raja dan ratu’ bagi pasangan pengantin menjadi suatu tuntutan. Namun di tengah pandemik Covid-19 saat ini, dimana berbagai negara menerapkan aturan physical distancing yang melarang orang berkumpul lebih dari lima orang termasuk Indonesia, sehingga resepsi pernikahan pun sempat dilarang sehingga banyak pasangan memilih untuk ‘menunda’ pernikahan mereka atau kalaupun memilih untuk melanjutkan maka resepsi pernikahan tersebut harus menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Covid-19 benar-benar telah ‘menghadirkan nuansa yang berbeda dalam sebuah resepsi pernikahan’. Bahkan ada konsep baru resepsi pernikahan di tengah pandemik yaitu ‘konsep drive thru’ yang terjadi di Bekasi sebagaimana diberitakan oleh IDN Times Jabar. Konsep drive thru ini layaknya ketika kita memesan makanan di restoran siap saji seperti McDonald atau KFC. Meskipun penulis yakin konsep ini hanya bersifat temporer paling tidak selama Covid-19 masih mewabah.

Keharusan untuk menerapkan protokol kesehatan (mengenakan masker [mau tahu masker terbaik dan terburuk versi Duke University? Tonton videonya di sini atau baca di sini], rajin mencuci tangan dan menjaga jarak, lengkapnya baca di sini) pada saat resepsi pernikahan tersebut penulis alami ketika menghadiri akad nikah dan resepsi pernikahan di Kel. Duren Jaya, Bekasi Timur, Kota Bekasi pada Ahad, 9 Agustus 2020, yang kebetulan adalah keponakan penulis yang bernama Riyanita Bestari. Penyelenggaraan resepsi tersebut dilakukan setelah mendapatkan “ijin penyelenggaraan keramaian” yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yaitu Kelurahan Duren Jaya, dengan catatan agar menerapkan protokol kesehatan. Menurut Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, bahwa Kota Bekasi sudah masuk ‘zona hijau’, meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa Kota Bekasi masih dalam ‘zona kuning dengan level 3, artinya, Kota Bekasi masih dalam level cukup berat.

Berdasarkan hal tersebut maka shohibul hajat harus menyiapkan mulai dari tempat cuci tangan, hand sanitizer, dan masker khususnya untuk semua yang terlibat dalam penyelenggaraan resepsi tersebut. Pemandangan serba “bermasker” pun terlihat ketika calon mempelai pria, Muhammad Riki Saputra, dan rombongannya datang pada sekitar pukul 8.30 pagi yang disambut oleh tuan rumah yang juga bermasker. Maka “dandanan yang elok” dan “senyum sumringah” sang pengantin pun jadi “terhalang” karena ditutup oleh masker. Namun demikian, alhamdulillah, acara demi acara berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan, meskipun terlihat beberapa yang hadir karena ‘agak kurang bebas bernapas’ sesekali melepas masker atau sekedar mengeluarkan hidung mereka agar bisa menghirup udara segar (sebetulnya berapa lamakah memakai masker yang aman?). Bahkan beberapa di antaranya tidak mengenakan masker atau sekedar menyangkutkannya di leher-leher mereka. Bahkan pada beberapa prosesi / pose terlihat “unmasked …”. Ya, unmasked. Ini memang seperti “pembelotan” terhadap kebijakan tapi fakta seperti ini banyak terlihat di jalan-jalan atau tempat-tempat umum. Bisa jadi karena “sebagian” masyarakat lama-lama merasa “jenuh” karena Covid-19 ini dibilang “tidak ada” faktanya “ada” dan sebaliknya. Dan tak seorang ahli pun tahu kapan ini akan berakhir (kapan Corona berakhir, baca pendapat para ahli di sini dan di sini).

Prosesi pernikahan dilaksanakan di musholla Miftahul Jannah di bawah asuhan Ustadz Endang Kosasih. Acara dimulai dengan “serah terima pengantin” dari perwakilan mempelai pria, yang diwakili oleh Bpk. Supriyo, dan perwakilan mempelai wanita yang diwakili oleh penulis selaku keluarga dari sang mempelai wanita. Selanjutnya dilanjutkan dengan akad nikah yang berlangsung dengan khidmat dan lancar terutama ketika sang mempelai pria menyambut kata-kata wali nikah, Bpk. Turyanto, dengan ucapan “saya terima nikahnya …” dan kedua saksi serta semua yang hadir serentak berteriak “sah!”. Maka keduanya pun telah sah menjadi pasangan suami isteri. It’s that simple!

Selesai akad nikah, sang penghulu berpesan kepada “pasangan pengantin baru”, meskipun pesan tersebut juga perlu diketahui juga oleh “pasangan pengantin lama”, yaitu tiga perkara agar dapat membina keluarga “samawa (sakinah, mawaddah wa rahmah)” yaitu: (1) jaga shalat lima waktu; (2) jujur kepada pasangan; dan (3) tidak mengumbar masalah kepada orang lain, tapi berusaha mengatasi berdua. Nasehat perkawinan ini penting (baca di sini, juga di sini) agar dapat menjadi pegangan bagi kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga sehingga “langgeng” sampai (orang Jawa bilang) “kaken kaken ninen ninen (kakek nenek)”.

Ya, menikah memang termasuk salah satu dari lima perkara yang harus disegerakan karena jika tidak maka akan timbul fitnah diantaranya kemungkinan terjadinya “pergaulan bebas” yang diharamkan agama. Maka mewabahnya Covid-19 bukan halangan untuk “segera menikah” meskipun dalam keadaan yang serba “dibatasi!