Covid-19 (telah) Menjadikan Seorang Muslim Imam yang Sempurna

Di masa ini, ketika seorang Bapak hendak memilihkan jodoh untuk puterinya maka pertanyaan yang biasanya mengemuka adalah “apakah kamu sudah bekerja?”, dan lebih jauh ditanyakan juga jabatan dan, barangkali ini yang paling penting, “jumlah gaji!!” Agak materialis memang tapi itulah faktanya. Ini tentu berbeda dengan masa lalu dimana orang tua lebih menekankan kepada aspek agama (dalam hal ini agama Islam), maka para orang tua masa lalu biasanya bertanya, “sudah khatam Qur’an berapa kali?”, lalu yang terkait dengan shalat dan lainnya sementara aspek harta tidak terlalu dikedepankan karena keyakinan bahwa masalah “rezeki” itu Allah yang atur. Dan ini, boleh dibilang, sudah jadi “barang langka.” Maka di era Covid-19 saat ini, kriteria pemilihan jodoh yang cenderung materialistis seperti itu sepertinya “kena batunya.” Mengapa?

Covid-19 yang awalnya “bersemai” di Wuhan, China dan kemudian berubah menjadi pandemik yang melanglang ke seantero buana termasuk negeri tercinta Indonesia. Ketika wabah ini mulai memakan korban yang dari hari ke hari terus bertambah (lihat data perkembangan Covid-19 di dunia dan di Indonesia) maka pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia mulai menerapkan physical and social distancing yaitu menjaga jarak fisik dan mengurangi intensitas pertemuan dalam jumlah besar karena ditengarai potensial sebagai mata rantai penularan Covid-19. Maka pemerintah provinsi DKI Jakarta pun menjadi “pioner” dalam penerapan kebijakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” atau “PSBB” melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan peraturan ini kemudian diikuti oleh daerah-daerah penyangga DKI Jakarta seperti Bogor, Depok Bekasi dan Tangerang. Maka dilakukanlah penutupan sementara kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta, tempat-tempat keramaian (tidak termasuk pasar) seperti kebun binatang, tempat hiburan, restoran dan lainnya termasuk “masjid” sehingga shalat Jum’at pun harus diganti shalat Dhuhur di rumah masing-masing! Maka jargon “work from home, learning from home“ termasuk juga “beribadah di rumah!” pun menjadi populer.

Kemudian sebagai tindaklanjut dan juga pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah di tengah pandemik Covid-19, maka Majelis Ulama Indonesia sebagai pemegang otoritas hukum agama Islam pun mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang secara implisit menyatakan bahwa “untuk menghindari kerumunan terutama di daerah di mana wabah tidak terkendali maka umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan “ibadah di rumah.”

Di sinilah pola pikir materialis mendapatkan tantangan dan sekaligus kena batunya, meskipun pendapat penulis ini terkesan subyektif karena bisa jadi pembaca mungkin punya pendapat lain. Ketentuan pelaksanaan “ibadah di rumah” baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at mengharuskan setiap laki-laki muslim harus siap menjadi “imam” bagi keluarga mereka. Bagi mereka yang memang “melek agama” apalagi lulusan sekolah agama atau bahkan pesantren, hal ini tentu tidak masalah. Namun bagi sebagian mereka yang muslim tapi “tidak melek agama” atau bahkan sehari-harinya cenderung “tidak peduli terhadap kewajiban agama” ini merupakan masalah besar. Sebagian mereka, jangankan memimpin shalat keluarganya, bahkan membaca surat “al-Fatihah” pun tidak bisa, apatah pula surat-surat lainnya (ini data angka melek Al-Qur’an di Indonesia). Dan ini tentu sesuatu yang, sejujurnya, memalukan (atau membuat malu) mereka di hadapan isteri terutama anak-anak mereka. Bisa jadi si anak ketika makmun di belakang ayahnya berkata, “pasti setelah al-Fatihah ayah baca ‘qulhu (surat al-Ikhlash) lagi …” Rasanya mau ditaruh di mana muka ini ….”. Apalagi kebijakan ini pun masih berlaku ketika bulan Ramadhan 1441 / 2020 hingga datangnya hari raya Idul Fithri, maka “lengkaplah penderitaan” tersebut karena memimpin shalat Tarawih dengan jumlah raka’at yang banyak (8 + 3 atau 20 + 3) tentu lebih menyiksa lagi.