Seri Asmaul Husna: Al-Lathif ‎(Yang Maha Lembut / The Gentle, The Knower of Subtleties)‎

Oleh: Dr. Syamsul Yakin, M.A


Seolah, ada secercah harapan bagi para pemanggul amanah keagamaan ketika John Naisbitt, seorang futurolog kenamaan, dalam Megatrend 2000 mengatakan abad kini sebagai kebangkitan agama. Bagi kita, semestinya pandangan ini tidak harus membuat terhentak. Apalagi ketika para pengamat filsafat agama ramai-ramai mengamini pendapat Daniel Bell, seorang cendekiawan dari Harvard University, bahwa The Age of Religion akan muncul di abad 21. Sungguh, kedua pendapat ini seperti kata-kata orang yang bangun tidur kesiangan. Dan celakanya, kita sebagai pewaris agama yang hanif ini, ikut meyakininya.

Padahal, setiap kurun dalam Islam adalah tahun-tahun kebangkitan. Setiap hari, agama mengawal setiap aksi. Mulai dari persoalan pelik politik yang penuh intrik dan menentukan hajat orang banyak hingga persoalan infiradi di kamar mandi. Semua tidak luput dari ajaran agama. Tetapi, mengapakah kita lantas baru merasa agama akan tegak di abad kini? Dan, sepertinya kita sepakat bahwa selama ini Islam tenggelam dan tidak mampu menoreh tinta emas di gelanggang peradaban. Sebaiknya, kita  percaya terhadap Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama asal Amerika. Dia katakan bahwa sistem yang dibangun Islam terlampau modern sehingga sepeninggal Nabi belum ada generasi yang bisa mewarisi.

Memahami Allah sebagai al-Lathif merupakan langkah mewarisi semua sistem yang ditinggalkan Nabi. Karena al-Lathif menggugah kita untuk menangkap Ke-Maha- Lembutan akan kekuatan-Nya dan Ke-Maha-Halusan akan ilmu dan keperkasaan-Nya. Saking Maha Lembut dan Halusnya, segala sesuatu tentang Allah tidak terlacak sekalipun dengan alat yang paling mutakhir, shopisticated. Manusia hanya bisa terpana ketika tiba-tiba beroleh bahagia tiada tara atau terkubur di titik bencana.

Kehalusan sinyal bahagia atau bencana tak terdeteksi, sehingga manusia benar-benar tidak mengetahui segalanya. Inilah sifat al-Lathif, sebagai diinformasikan al-Qur’an:

QS. al-An’am [6] ayat 103

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An’am [6] ayat 103).

Jadi, belajar dari Ke-Maha-Halusan Allah, sedianya kita bisa menangkap kelembutan suara-suara mereka yang berharap kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan di tengah aktivitas dunia yang memekakkan telinga. Sungguh Allah Maha Lembut. Kita hanya bisa menangkap azab-Nya seperti gempa bumi, tsunami, terik berkepanjangan, hujan yang menimbulkan air bah, tanah longsor, dan banjir bandang.

Tahukah kita bahwa sebenarnya terdapat rahmat yang teramat lembut di dalam azab-Nya yang teramat dahsyat. Sayangnya, kita tidak melihatnya. Atau tidak pernah mau belajar untuk bisa melihatnya. Padahal manifestasi Allah sebagai al-Lathif itu begitu memukau,  mempesona, dan indah dipandang mata. Bagaimana tidak, mampukah kita melihat air laut yang naik ke udara, lalu berdesak-desakkan di langit, menggumpal menjadi awan, lalu turun menjadi hujan, dan tak lama berselang bumi menghijau? Inilah Kelembutan ilmu Allah yang tidak bisa diverifikasi manusia.